Bhujangga Waisnawa dan Senggu

Saya membuat tulisan ini hanya karena ingin bertukar pengalaman dengan para semeton. mungkin diantara para semeton sering mendengar pertanyaan berikut:napi sorohe gus? lalu kalau kita jawab: tiang bujangga waisnawa nikerespon dari penanya biasanya:ooo nak senggu ...atau mungkin pertanyaan seperti ini: napi sorohe gus?biasanya kita jawab, Tiang bhujangga waisnawa niketerus ditanya lagi, bhujangga waisnawa ape bhujangga senggu?nah loh, emanga ada berapa bhujangga ya...
Saya pribadi tidak pernah ambil pusing dikatakan sebagai senggu karena saya pikir saya tidak perlu terlalu jauhlah mempersalahkan hal tersebuat apalagi kalau ternyata pertanyaan itu hanya sekedar basa-basi saja. Tetapi kadang saya akan menjawab, bukan saya bukan senggu tapi bhujangga waisnawa paling di respon, loh emang beda ya? nah kalau responnya sudah begitu bakal panjang ceritanya. lihat-lihat dulu orang ini bisa diajak untuk berdialog tidak, atau hanya tipikal orang yang kekeuh dan kolot.
Tetapi sejujurnya, di dalam hati saya selalu berpikir, mengapa selalu bhujangga waisnawa diidentikkan dengan senggu mengapa juga daerah perumahan atau banjar yang dihuni oleh mayoritas semeton bhujangga waisnawa disebut sengguan. setalah lama mencari literatur dan referensi akhirnya saya menermukan penjelasan tentang hal tersebut.
Kata senggu berasal dari kata sengguh yang berarti dikira. perkataan ini menjadi rancu dengan kata sangguhu yang berarti sang guru atau sang guhung (sebutan ini tidak terlepas dari peranan leluhur bhujangga waisnawa yang menjadi pembimbing atau guru spiritual). demikan juga halnya dengan kata sengguan/sengguhan yang dapat berarti tempatnya i senggu/ i sengguh, dan kata sangguhuan yang artinya karang setra/suci. hal ini tidak terlepas dari tempat tinggal Ida Bhujangga Waisnawa yang selalu berdekatan dengan karang tenget atau karang setra karena sang Bhujangga mempunyai kemampuan sebagai pamahayu jagat, pangalebur lan panglukat sahananing leteh (melebur dang menyucikan segala kekotoran.
Penyebutan kata senggu atau sengguh berasal dari kisah pada jaman Dalem Waturenggong di klungkung. Pada zaman pemerintahan dalem Waturenggong, salah satu purohita beliau dari Bhujangga Waisnawa adalah Ida Bhujangga Guru. Selain sebagai purohita, Ida bhujangga juga berperan sebagai Guru bagi putra-putri sang raja.
Salah satu putri dari dalem waturenggong bernama Dewa Ayu laksmi ketika beranjak dewasa akhirnya jatuh cinta dan menikah dengan Ida Bhujangga Guru. Hal ini mengundang kemarahan dari Dalem Waturenggong, karena pernikahan terjadi diluar sepengetahuan beliau dan apalagi pernikahan tersebut terjadi antara guru dan murid. Kemarahanan dalem ditunjukkan dengan perintah untuk membunuh Ida Bhujangga Guru mengetahui hal tersebut Ida Bhujangga Guru segera "kesah" atau melarikan diri ke daerah pegunungan di tabanan (jatiluwih) tempat tinggal ayahnya yaitu Ida bhujangga Angker atau Ida Resi Canggu. Kepergian Ida Bhujangga Guru dari gelgel (klungkung) masih meninggalkan putra beliau dari istri pertama. Putra beliau bernama Ida Bhujangga Alit Adiharsa.
Suatu ketika, Dalem waturenggong mengadakan upacara yadnya. Beliau mendengar tentang keberadaan Danghyang Nirartha yang baru datang dari jawa. Namun ketika Danghyang Nirartha dipendak atau dijemput, Danghyang Nirartha sedang tidak berada di pasraman, yang ada saat itu adalah I Kelik yang merupakan salah satu pengikut Danghyang Nirartha. I Kelik ini mengaku sebagai Danghyang Nirartha, maka diajaklah dia ke istana. Lalu ketika I kelik yang dikira danghyang nirartha ini melantunkan puja selayaknya pandita, datanglah Danghyang Nirartha dan Ida Bhujangga Alit Adiharsa. mengetahui hal ini membuat I Kelik menjadi ketakutan dan melarikan diri. Dalem menjadi marah karena merasa dibohongi, lalu diperintahkan untuk mengejar dan menangkap I Kelik yang telah membohongi raja. Akan tetapi atas permintaan Danghyang Nirartha, I Kelik akhirnya diampuni oleh dalem. I Kelik kemudian disebut I Sengguh yang artinya yang dikira.
Dalam perkembangan selanjutnya di Istana, oleh karena kemarahan Dalem Waturenggong terhadap Ida Bhujangga Guru, Ida bhujangga Alit Adiharsa menjadi tidak dianggap. Segala nasehat dari Ida bhujangga tidak pernah diperhatikan. Ida Bhujangga Alit merasa tidak nyaman dan akhirnya memilih untuk ikut kesah dari gelgel. Dengan perginya sang Bhujangga maka dikatakan bahwa Ida Bhujangga telah moksah (padahal kesah yang artinya pergi)lama-kelamaan kondisi negara semakin kacau karena purohita yang bertugas sebagai pemarusudha gumi atau pemahayu jagat sudah tidak ada.
Hal ini membuat Ida dalem menjadi resah. Atas saran Danghyang Nirartha, Dalem akhirnya setuju untuk mengangkat I Kelik sebagai pengganti Ida Bhujangga. I Kelik kemudian dijari oleh Danghyang Nirartha puja-puja weda sebagai dang katrini dan juga semua pusaka dan piagem-piagem sang Bhujangga yang telah kesah diberikan kepada I Kelik. Selanjutnya I Kelik ditapak (ditasbihkan) oleh Danghyang Nirartha sebagai Jero Gede (menurut Lontar Tutur kudalini).
Maka sejak itu peranan Ida Bhujangga diambil alih oleh Jero Gede (senggu). dan berita yang beredar bahwa Ida Bhujangga telah moksah, sudah tidak ada lagi preti sentananya. Padahal sebenarnya Ida bhujangga hanya pergi dari klungkung (pusat kerajaan bali pada waktu itu).

Sudah jelaslah perbedaan antara Bhujangga waisnawa dan senggu. Bhujangga waisnawa merupakan keturunan dari Ida Resi Makandeya dan sudah ada berabad-abad di bali jauh sebelum kedatangan majapahit ke Bali. Sementara senggu ada sejak pemerintahan Dalem Waturenggong, yaitu zaman setelah kedatangan Majapahit ke Bali. Ida Resi Bhujangga "ditapak" oleh Ida Resi Nabe Bhujangga Waisnawa, sementara Jero Gede "ditapak" oleh Ida Nabe Siwa.
Setelah kejadian di Gelgel tersebut maka peranan bhujangga waisnawa terpinggirkan ditambah lagi setelah Danghyang Nirartha atas restu Dalem Waturenggong, merestrukturisasi kehidupan masyartakat dengan mengeluarkan sistem kasta. dimana yang disebut golongan Brahmana adalah Danghyang Nirartha beserta keturunannya dan Danghyang Astapaka (saudara danghyang nirartha) beserta turunannya. Ksatria adalah Raja dan keluarganya, Arya adalah para patih dan punggawa kerajaan dan diluar ketiga golongan itu adalah Sudra.
Demikianlah cerita tentang Bhujangga Waisnawa dan Senggu, semoga bermanfaat. Tulisan ini bukan bertujuan untuk mendiskreditkan dan mejelekkan golongan tertentu. Melainkan untuk menambah wawasan dan pengetahuan saja khususnya untuk para semeton bhujangga waisnawa. marilah para semeton bhujangga waisnawa tetap teguh memegang sasana ke bhujanggaan, yaitu untuk selalu arif dan bijaksana namun rendah hati. Bu artinya Bumi/pertiwi, Ja artinya air suci, Ngga artinya nagasari, sarining sekar anyuksemaning tirta jati utama maka perihaning wong kabeh (lontar kerta bhujangga). Bhujangga adalah air atau tirta suci yang dapat membersihkan bumi dan segala isinya atau dengan kata lain adalah sebagai pengayom.
Referensi:
1. Bhuwana Tatwa Resi Markandeya
2. Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini
3. Leluhur Orang Bali
4. www.pusakaguru.com